POLIO
Penderita POLIO
Penyakit ini disebabkan oleh virus Polio .
Masa inkubasi
Biasanya 7 sampai
14 hari, dengan kurun waktu antara 3 sampai 35 hari.
Penanganan
Orang yang diduga
terinfeksi harus dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut dan
isolasi. Dewasa ini, tidak ada perawatan penyembuhan untuk penyakit tersebut.
Pencegahan
Vaksinasi adalah
cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit polio. Terdapat dua jenis
vaksin polio: Vaksin Polio Oral (OPV) yang diberikan melalui mulut dan Vaksin
Polio Inaktivasi (IPV) yang diberikan melalui suntikan.
Sejak pertama ditemukan kasus
index, virus menyebar dengan cepat dan jumlah anak yang terinfeksi terus
meningkat, hingga akhir tahun 2005 jumlah kasus polio liar mencapai 303 pada 46
kabupaten di 10 provinsi di pulau Jawa dan Sumatra. Selain itu pada tahun 2005
di Indonesia juga ditemukan KLB circulating vaccine derived poliovirus (cVDPV)
di empat kabupaten di pulau Madura Jawa Timur, dilaporkan VDPVs sebanyak 46
kasus.
Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi
rutin dan tambahan (PIN) yang intensif, jumlah kasus virus polio liar menurun.
Pada tahun 2006 hanya ditemukan dua kasus. Kasus terakhir (virus polio liar
type 1) ditemukan di kabupaten Aceh Tenggara provinsi Aceh dengan onset tanggal
20 Februari 2006. Dua setengah tahun setelah kasus terakhir, belum ada kasus
baru yang dilaporkan.
Kasus polio di Indonesia pada tahun
2005 terjadi pertama kali di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat yang dengan cepat
menyebar ke provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.
Data terakhir melaporkan secara total terdapat 295 kasus polio 1 yang tersebar
di 10 Provinsi dan 22 kabupaten/kota di Indonesia.
Dalam
sidang WHA ke-41 (World Health Assembly- sidang para menteri kesehatan
dari negara-negara WHO) tahun 1988 dan Summit for Children tahun 1990
oleh Menteri Kesehatan sedunia telah disepakati melalui komitmen
global Eradikasi Polio (ERAPO) pada tahun 2000. Strategi yang ditempuh
pemerintah Indonesia dalam rangka Eradikasi Polio (ERAPO) tahun 2000 antara
lain: Penambahan dosis ke-4 Imunisasi Polio rutin, Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
dan Surveilans Polio yang meliputi Surveilans Polio Liar (SPL) dan Surveilans
Acute Flaccid Paralysis (SAFP) (Rina dan Ritarwan 2009).Surveilans
AFP adalah pengamatan terhadap semua gejala yang mirip polio dengan kelumpuhan
bersifat layuh dan mendadak pada anak usia < 15 tahun. Puskesmas sebagai coordinator
community based surveillance bertanggung jawab terhadap semua kasus AFP
yang ada di wilayah kerjanya dengan mengikutsertakan petugas kesehatan yang ada
dalam upaya penemuan kasus AFP di masyarakat (Lenni, 2004).
Surveilans Polio bertujuan untuk memantau adanya transmisi virus polio liar
disuatu wilayah, sehingga upaya pemberantasannya menjadi terfokus dan efisien. Paralysis).
Sasaran surveilans adalah kelompok yang rentan terhadap poliomyelitis yakni anak
berusia dibawah 15 tahun. Untuk meningkatkan sensitifitas dan surveilans polio,
pengamatan dilakukan pada semua kelompok yang terjadi secara akut dan sifatnya
layuh. Untuk mencapai sertifikat bebas polio di Indonesia ternyata tidak mudah,
setelah kasus polio hamper tidak ada lagi di Indonesia tiba- tiba pada 17 Maret
2005, seorang dokter praktek swasta melaporkan satu kasus AFP atau lumpuh layuh
ke Puskesmas Cidahu, Sukabumi. liar. Akhirnya pada 29 April 2005 oleh Tim
Kajian Epidemiologi Lapangan Menteri Kesehatan RI, dilaksanakan Mopping up imunisasi
polio di 3 provinsi yakni DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ternyata
virus polio liar yang ditemukan di Sukabumi oleh kajian Laboratorium
Global Specific Laboratory (GSL) Mumbai berdasarkan tes DNA sequencing,
ditemukan strain yang sama dengan virus polio Sudan yang beredar di Arab
Saudi pada saat musim haji (Rina dan Ritarwan 2009).
Pada
tahun 2013, Pemerintah kembali mengeluarkan upaya eradikasi polio yang meliputi
4 strategi utama yaitu 1) menghentikan transmisi virus polio liar dengan
melakukan penguatan imunisasi polio (imunisasi rutin, bila perlu dilakukan
imunisasi tambahan) dan surveilans AFP; 2) mendapatkan sertifikat telah bebas
dari polio; 3) menyimpan virus polio liar pada laboratorium-laboratorium yang
telah ditentukan, untuk mencegah resiko reintroduksi virus liar dari diagnostic
dan penelitian pada masyarakat ; 4) stockpile mOPV, mungkin
diperlukan untuk respon terhadap cVDPV atau kegagalan penyimpanan (containment)
(Gendrowahyuhono dkk 2010).
Sampai
saat ini, pemerintah terus berupaya melakukan eradikasi polio hingga kasus
polio benar- benar hilang di Indonesia tidak bersisa satupun. Sebab walaupun
hanya 1 kasus yang muncul, maka daerah tersebut telah tergolong KLB polio. Hal
ini berdasarkan Kepmenkes no. 483/Menkes/SK/IV/2007 disebutkan pada lampiran
bahwa untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus polio, dilakukan
pengamatan semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya flaccid
(layuh), penyakit yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomyelitis disebut
kasus AFP, di suatu wilayah bila ada 1 kasus merupakan KLB. Hal ini mengartikan
bahwa setiap ditemukan satu kasus AFP disuatu daerah maka kasus tersebut adalah
KLB untuk daerah tersebut (Depkes RI 2003 dalam Prasetyowati dkk 2011).
Dalam
melacak kasus polio, baik tidaknya surveilen polio yang dilakukan menentukan
kualitas hasil pelaporan kasus. Sehingga dibutuhkan jaringan surveilans yang
canggih dan sahih agar mampu mendeteksi adanya kasus polio, kasus AFP dan
adanya transmisi virus polio liar.. Selain itu analisa data akan bermanfaat
untuk memperbaiki kinerja surveilans dan persiapan dokumentasi untuk
sertifikasi bebas polio pada tahun mendatang. Kinerja surveilans aktif dipantau
dengan menggunakan indicator internal dan indikator ketahanan surveilans
(Prasetyowati dkk, 2011).
SAFP (Surveilans
acute flaccid paralysis)
AFP
(Accute Placcid Paralysis) adalah kasus lumpuh layu yang belum tentu polio.
Surveilans AFP dilakukan melalui tata laksana kasus AFP dan penegakan diagnosis
oleh laboratorium.
IMPLEMENTASI SURVEILANS POLIO
Imunisasi Polio
masuk dalam Program Imunisasi di Indonesia pada tahun 1982. Pada tahun 1995
ditemukan kasus polio sehingga dalam rangka melindungi seluruh balita dan
mencapai target eradikasi bagi balita yang belum terjangkau dari imunisasi
rutin polio, maka diadakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Pekan Imunisasi
Nasional (PIN) dan mop-up merupakan kegiatan imunisasi tambahan untuk memutus
penyebaran virus polio. PIN dan mop-up tidak dapat menggantikan imunisasi rutin
sehingga walaupun anak sudah mendapatkan PIN lebih dari 4 kali, imunisasi rutin
tetap diberikan.
Di Indonesia,
PIN telah dilakukan pada tahun 1995,1996,1997. Selain itu pada tahun 1998
dilakukan mop-up di 5 kecamatan di Papua, tahun 1999 Bulan Imunisasi anak
sekolah polio dari kelas III sampai VI SD secara Nasional. Tahun 2000, dilaksanakan
subpin di 5 provinsi yaitu : Papua, Maluku, NTT, Maluku Utara dan NAD. Tahun
2001 subpin di 10 kabupaten di 5 provinsi. Semenjak tahun 1995 tidak ditemukan
lagi infeksi virus polio liar yang dari Indonesia.
Pada Maret 2005
terjadi KLB polio di Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. Menurut hasil Laboratorium Virologi Bio Farma dan Laboratorium Virologi
Rujukan WHO di Mumbai, India, virus yang ditemukan pada penderita Polio di
Cidahu adalah virus import strain Nigeria yang masuk ke Indinesia melalui jalur
Timur Tengah yang dikarenakan tingginya mobilitas manusia dan majunya
transportasi. Untuk mengatasi virus Polio liar berlanjut, telah dilakukan upaya
sebagai berikut:
1.
Diberikannya perlindungan bagi anak
disekitar penderita agar tidak menderita kelumpuhan (Outbreak Response Immunization).
2.
Melakukan mopping-up, upaya untuk
menyetop penyebaran virus polio luar dnegan jangkauan daerah yang lebih luas.
Tindakan ini dilakukan menyusul ditemukannya beberapa kasus polio di beberapa
propinsi yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Riau, NAD, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Jawa Timur, DKI Jakarta.
3.
Diadakannya Pekan Imunisasi Nasuinal
kepada seluruh balita di Indonesia. Srtiap PIN dilakukan sebanyak 2 putaran,
berselang minimal satu bulan. Pada tahun 2005 dilakukan PIN sebanyaj 3 kali
yaitu pada bulan Agustus, September, dan November. Pada tahun 2006, Indonesia
melakukan sub-pin di 57 Kabupaten di 6 Propinsi yang terjangkit Polio, yaitu
tanggal 30 Januari 2006, serta PIN ke-4 dan ke-5 pada tanggal 27 Februari 2006
dan 12 April 2006 dengan cakupan masing-masing 95%.
4.
Dalam upaya eradikasi polio pada tahun
2013, dilakukanprioritas-prioritas sebagai berikut:
- Menghentikan transmisi virus polio liar
dengan melakukan penguatan imunisasi polio
- Mendapatkan sertifikat telah bebas dari
polio
- Menyimpan virus polio pada
laboratorium-laboratorium yang telah ditentukan, untuk mencegah risiko
reintroduksi virus liar dari diagnostic
dan penelitian pada masyarakat
- Stockpile
mOPV, mungkin diperlukan untuk respom terhadap cVDPV atau kegagalan penyimpanan
(containment).
Kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan setelah penggantian OPV ke IPV adalah :
1. Survei
cakupan imunisasi IPV4 pada tahun 2010.
2. Survei
serologis pada anak yang telah mendapat imunisasi IPV4 pada tahun 2010, untuk
mengetahui serokonversi antibody anak terhadap IPV dan akan dibandingkan dengan
serokonversi antibodi anak sebelum mendapat IPV
3. Meneruskan
survei lingkungan untuk memonitor sirkulasi virus polio di masyarakat sampai
tahun 2012
4. Monitoring
pelaksanaan imunisasi dengan IPV di seluruh propinsi D.I.Yogyakarta untuk
mengetahui kendala/masalah-masalah yang timbul dalam operasionalnya dan
manfaatnya imunisasi dengan IPV sampai tahun 2012.
Dua puluh tahun silam, polio
melumpuhkan 1.000 anak tiap harinya di seluruh penjuru dunia. Tapi pada 1988
muncul Gerakan Pemberantasan Polio Global. Lalu pada 2004, hanya 1.266 kasus
polio yang dilaporkan muncul di seluruh dunia. Sementara itu, Hanya 177 kasus yang
tercatat secara global hingga Oktober 2012, turun 502 kasus pada periode yang
sama tahun lalu, ujar para virolog yang menghadiri pertemuan tahunan American
Society of Tropical Medicine and Hygiene di Atlanta (Antara News 2012). Di
Indonesia, berdasarkan jumlah total kasus polio dalam rentang tahun 2004- 2006
yang muncul di 10 propinsi di Indonesia yaitu 302 kasus, dimana kasus polio
paling banyak terjadi di Banten dengan 161 kasus (Depkes 2006). Jumlah ini merupakan 18,5%
total jumlah penderita polio didunia. Indonesia menduduki rangking ke 3 setelah
Nigeria (629 kasus) dan Yaman (476 kasus). Total kasus polio di Dunia pada 17
Januari 2006 yaitu 1831 (Subdit
Imunisasi Ditjen PP & PL Dep-Kes RI dalam LSPL 2006).
Kelebihan
surveilans polio :
1. Memberi informasi mengenai gambaran pengetahuan, sikap,
dan perilaku ibu-ibu bayi dan balita mengenai penyakit polio
2. Meningkatkan kesadaran ibu khususnya yang memiliki bayi
dan balita dalam menjaga anak terhadap serangan virus polio liar.
3. Dapat
mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah, sehingga
dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi virus
polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.
4. Memantau
perkembangan program eradikasi polio.
5. Dengan tercapainya eradikasi polio dunia terbebas dari penyakit Polio dan cacat/lumpuh/layu yang terjadi akibat penyakit tersebut.
6. Mengurangi pengeluaran biaya yang diperlukan oleh sistem kesehatan untuk menyelenggaraka imunisasi dan perawatan kasus-kasus Polio yang diperkirakan mencapai US S 1.5 milyar pertahun.
7. Mengurangi angka kejadian polio di Indonesia.
5. Dengan tercapainya eradikasi polio dunia terbebas dari penyakit Polio dan cacat/lumpuh/layu yang terjadi akibat penyakit tersebut.
6. Mengurangi pengeluaran biaya yang diperlukan oleh sistem kesehatan untuk menyelenggaraka imunisasi dan perawatan kasus-kasus Polio yang diperkirakan mencapai US S 1.5 milyar pertahun.
7. Mengurangi angka kejadian polio di Indonesia.
8. Terdeteksinya mata rantai penyebab
penyakit polio dan dapat disusunnya program perencanaan yang terstruktur untuk
menanggulanginya.
Kekurangan survei polio :
1. Khusus penyakit polio, kegiatan surveillans sangat
tergantung pada pelayanan laboratorium.
2. Responden
dapat memahami pertanyaan secara berbeda dari yang diinginkan.
3. Ada
kemungkinan responden yang terlibat tidak sesuai dengan karekteristik sample
yang dituju.
4. Dibutuhkannya banyak data dari semua daerah di Indonesia.
5. Waktu yang lama dan mahalnya dana yang dibutuhkan.
6. Kemampuan SDM yang tidak merata.
7. Sulitnya pendistribusian vaksin polio ke daerah-daerah terpencil.
8. Terlambatnya kasus diketahui dan spesimen tidak adekuat.
4. Dibutuhkannya banyak data dari semua daerah di Indonesia.
5. Waktu yang lama dan mahalnya dana yang dibutuhkan.
6. Kemampuan SDM yang tidak merata.
7. Sulitnya pendistribusian vaksin polio ke daerah-daerah terpencil.
8. Terlambatnya kasus diketahui dan spesimen tidak adekuat.
Sejak
surveilans AFP dilaksanakan secara intensif tahun 1997 melalui peningkatan
komitmen Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi di seluruh
Indonesia, penemuan kasus AFP menunjukkan peningkatan yang bermakna, namun
berfluktuasi dimana penemuan terendah pada tahun 2000. Hal ini dikarenakan pada
tahun tersebut terjadi transisi sistem pemerintahan sentralisasi menjadi
desentralisasi, terutama adanya perubahan struktur organisasi disetiap tingkat
pemerintahan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 2002 Ditjem PPM dan PLP
menetapkan adanya Petugas Surveilans Khusus AFP ditingkat Provinsi sebagai
koordinator teknis pelaksanaan surveilans AFP yang bertanggung jawab kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Dengan
adanya sistem ini terjadi peningkatan penemuan kasus AFP diatas batas minimal Non Polio Rate 1/100.000 anak usia
kurang dari 15 tahun. Penemuan kasus tersebut belum maksimal,karena masih
ditemukannya adanya kasus AFP yang lolos dari beberapa RS.
Dalam
tahun 2005 terjadi KLB polio yang berdampak pada meningkatnya kepedulian
masyarakat terhadap semua kelumpuhan yang terjadi, sehingga penemuan kasus AFP Non
Polio meningkat 2/100.000 meskipun spesimen adekuat kurang 80%. Penemuan kasus
ini menunjukkan perkiraan minimal kasus AFP Non Polio di Indonesia. Berdasarkan
hal tersebut sejak tahun 2006 ditetapkan non polio AFP Rate 2/100.000 anak usia
kurang 15 tahun.
Dari
gambar diatas, dinyatakan bahwa sumber penemuan kasus AFP 16 tahun terakhir
(1997-2012) pada propinsi Jawa Tengah telah dilakukan sistem surveilans
masyarakat (CBS) yang diamati pada anak-anak berusia < 15 tahun dan sistem
surveilans aktif rumah sakit (HBS) yang bertujuan untuk menemukan kasus AFP
yang berobat ke rumah sakit, dilakukan pada semua bagian rumah sakit yang
merawat anak berusia < 15 tahun.
Dimana
terlihat jelas bahwa pada grafik menunjukkan tingkat kerja petugas yang berbeda-beda
setiap tahunnya. Sistem surveilans masyarakat sangat menonjol dan mencapai
tingkat maksimal pada tahun 2004, sedangkan untuk sistem surveilans aktif rumah
sakit menonjol dan mencapai tingkat maksimal pada tahun 2007. Perbedaan
tersebut dipengaruhi oleh banyaknya kasus AFP anak < 15 tahun yang pada
tahun 2004 tidak dibawa ke rumah sakit, sehingga CBS yang banyak terlibat dalam
pengumpulan data. Sedangkan pada tahun 2007 anak dengan AFP banyak ditemukan di
rumah sakit, jadi HBS lah yang terlibat dalam pengumpulan data.
Contoh form surveilans polio (AFP)
Tabel diatas adalah contoh form untuk surveilans
epidemiologi polio. Pertama isi terlebih dahulu propinsi mana yang
disurvei, lalu isi bulan, minggu, dan tahun kapan kapan data hasil
survei akan dilaporkan.
Kemudian pada kolom pertama yaitu kode kabupaten, diisi dengan kode
kabupaten yang sudah ditentukan yang termasuk dalam wilayah propinsi
yang disurvei. Kedua, kolom kabupaten/kota diisi dengan nama
kabupaten/kota tersebut. Kolom ketiga yaitu jumlah unit pelapor, terdiri
dari puskesmas dan rumah sakit. Kolom ini diisi dengan jumlah banyaknya
puskesmas/RS yang melaporkan kasus polio dikabupaten atau kota
tersebut. Yang keempat merupakan kolom laporan yang seharusnya, diisi
dengan jumlah kasus yang ditemukan dilapangan baik berdasarkan data
mingguan maupun data bulanan. Lalu, kolom kelima yaitu kolom jumlah
laporan yang diterima, kolom ini diisi dengan jumlah kasus yang
dilaporkan oleh puskesmas/RS berdasarkan data mingguan dan bulanan. Pada
kolom keenam, jumlah laporan tepat waktu diisi dengan jumlah temuan
kasus yang dilaporkan tepat waktu. Selanjutnya kolom kelengkapan, diisi
dengan persentase jumlah kelengkapan data yang didapatkan. Dan kolom
terakhir yaitu kolom ketepatan, diisi dengan persentase ketepatan dari
data temuan kasus polio yang dilaporkan.
Dari
grafik yang disajikan berdasarkan data distribusi kasus AFP di Kabupaten Musi
Rawas yang ditinjau dari tahun 2002 sampai dengan Mei 2011 . Grafik diatas
menggambarkan bahwa kasus AFP terbanyak di Kabupaten Musi Rawas adalah di
daerah Muara Kelingi dan di daerah STLU Terawas yaitu sebanyak tujuh kasus yang
mungkin baru tercatat . Sedangkan di daerah lain rata-rata hanya tercatat satu
atau dua kasus AFP di setiap daerah . Data ini bisa saja akan lebih banyak
kasus AFP yang sebenarnya, namun hanya beberapa saja yang tercatat di rumah
sakit, puskesmas ataupun dinas kesehatan setempat. Mengenai keakuratan data
dengan kasus yang sebenarnya tergantung pada kemampuan petugas kesehatan daerah
setempat yang mampu mensurvei kasus AFP di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan
kebanyakan kasus AFP ini tidak dilaporkan ke petugas kesehatan,sehingga kasus
tersebut tidak tercatat di rumah sakit ataupun sejenisnya.
Dari peta di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah di Jember telah melaksanakan surveilans AFP secara baik. Surveilans AFP tersebut menunjukkan bahwa terdapat 1 kasus AFP polio liar yang menyimpulkan bahwa pada tahun 2005-2009 masih terdapat kasus polio di Jember.
Dari tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tahun 2005-2006 surveilans AFP di Kabupaten Jember tidak memenuhi indikator surveilans AFP. Tetapi menunjukkan peningkatan pada tahun selanjutnya yaitu > 2/100000 penduduk.
Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa temuan kasus AFP terbanyak pada tahun 2007 diikuti pada tahun 2008,2009,2005,2006.
KESIMPULAN:
Berdasarkan data Asia Tenggara WHO yang mencakup 10 negara atau SEARO (South East Asia Organization) Indonesia bersama 8 negara lainnya telah bebas polio sedangkan India belum bebas Polio. Syarat suatu negara
bebas Polio yaitu tidak ditemukan kasus Polio selama 3 Tahun
berturut-turut. Namun WHO tetap menghimbau setiap negara untuk memberikan imunisasi Polio wajib 4 kali yaitu (P-) saat bayi baru lahir, (P-1) saat usia 3 bulan, (P-2) saat usia 4 bulan, dan (P-3) saat usia 5 bulan. Dengan imunisasi tersebut dapat memberikan proteksi terhadap polio selama 5-10 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Gendrowahyuhono, G. 2010. Laporan hasil-hasil pemeriksaan virus
polio dari laboratorium Badan
Litbangkes: Jakarta (ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/download)
Litbangkes: Jakarta (ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/download)
PT.Bio Farma Bandung dan BBLK Surabaya, dari tahun 2004 s/d
2008.
WHO, 2005. Framework for national policy makers in OPV-using
countries. Geneva.p.l- 10.
WHO. Polio Lab Network, quarterly Update, April 2007, Volume
XIII, Issue 1.
WHO. Global Polio Eradication Initiative: strategic plan
2004-2008.
Rina dan
Ritarwan.2009.Upaya Eradikasi Polio Di Indonesia.Universitas Sumatera utara
Gendrowahyuhona dkk.2010.Eradikasi Polio dan IPV. Media Litbang Kesehatan Volume XX Nomor 4
Gendrowahyuhona dkk.2010.Eradikasi Polio dan IPV. Media Litbang Kesehatan Volume XX Nomor 4
tahun 2010
Prasetyowati
dkk. 2011.AFP Berdasarkan Indikator Kinerja Surveilens di Kabupaten Jember pada
tahun
2005-2009.FKM Unsil
2005-2009.FKM Unsil
Lenni.2004.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan upaya penemuan kasusacute flaccid
paralysis (afp) oleh petugas kesehatan di kabupaten batang hari provinsi
jambi. Universitas Diponegoro
Antara
News. 2012.Kasus Polio dunia turun ketingkat terendah. Available at: http://berita.plasa.msn.com/internasional/antara/kasus-polio-dunia-turun-ke-tingkat-terendah diakses
pada 3 Oktober 2013
Depkes. 2006.
Peta Kesehatan Indonesia tahun 2004. Pusat Data dan Informasi Depkes RI
LSPL
(Lembaga Studi Pemantauan Lingkungan). 2006. Penderita Polio di Indonesia
terbesar ke 3 di Dunia. Available at: http://www.oocities.org/lsplweb/berita0306.html diakses
pada 3 oktober 201
Oke Rina R. dan
Kiking Ritarwan. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RSUP H. Adam Malik
Departemen Ilmu
Penyakit Saraf FK-USU/RSUP H. Adam Malik
VIDEO
Kepada teman-teman yg ingin bertanya kami persilahkan :D
BalasHapusNama : Gita Yuni Andrila
BalasHapusNim : 10111001038
teman teman kelompok polio saya ingin menanyakan kepada kelompok anda mengenai vaksin polio Terdapat dua jenis vaksin polio: Vaksin Polio Oral (OPV) yang diberikan melalui mulut dan Vaksin Polio Inaktivasi (IPV) yang diberikan melalui suntikan.
pertanyaanya seperti yang kita ketahui vaksin polio yang kebanyakan digunakan di indonesia adalah vaksin oral,menurut kelompok anda mengapa vaksin polio inaktivasi di indonesia belum terlalu populer menjadi salah satu pencegahan polio dengan menggunakan vaksin?dan manakah yang lebih efektif diantara OPV dan IPV jika dilihat dari cara kerja obat itu sendiri?
trimaksih teman teman
Perbedaan vaksin polio oral dan vaksin polio suntik
BalasHapusa. Vaksin polio oral diberikan dengan cara diteteskan ke mulut. Walaupun sangat efektif tapi rentan menimbulkan polio dan dapat menyebabkan paralisis. Vaksin ini mengandung virus polio yang dilemahkan. Harganya lebih murah dan efektif untuk virus polio liar, sebab vaksin ini memberikan perlindungan kepada saluran cerna.
b. Vaksin polio suntik yaitu vaksin polio tidak aktif yang diberikan secara suntikan. Vaksin ini mengandung virus polio yang sudah dimatikan jadi tidak menyebabkan paralisis. Tidak melindungi dari virus polio liar, harganya lebih mahal dan cara pemberiannya hanya bisa diberikan orang tertentu saja
hello guys..
BalasHapussaya OLGA DWIYANI (10111001042)
sebelumnya saya mau ngasih tau kalau hasil kerja blog kalian ini bagus beeudh.
nah, cuma saya pengen nanya aja.. Coba kalian lihat
- kelebihan surveilens polio poin 3 "Dapat mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah, sehingga dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi virus polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas"
lalu liat kekurangannya di poin 7 "Sulitnya pendistribusian vaksin polio ke daerah-daerah terpencil"
saya bingung, jadi sebenarnya apakah surveilan polio ini sdh mencakup daerah terpencil atau belum?
thanks a lot ^^