Demam
Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari
seluruhdunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita
DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, WorldHealth Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota
Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu,
penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Penyakit
ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi
virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B
Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus,
famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2,
Den-3, Den-4.
1. Pengertian Demam Berdarah Dengue
Menurut Depkes (2005), Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirus yang
ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2‐7
hari, manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan konjungtiva,
epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri)
termasuk uji tourniquet (Rumple Leede) positif, trombositopeni (jumlah
trombosit ≤ 100.000/l, hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit ≥ 20%) disertai
atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).
2.
Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue
Beberapa
faktor penularan DBD sebagai berikut:
- pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,
- mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehinggamemungkin terjadinya KLB,
- kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat,
- pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar,
- pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan.
3.
Klasifikasi kasus dan berat penyakit
Sekarang ini
disepakati bahwa dengue adalah suatu penyakit yang memiliki presentasi
klinis bervariasi dengan perjalanan penyakit dan luaran (outcome) yang tidak
dapat diramalkan3.
Diterbitkannya
panduan World Health Organization (WHO) terbaru di tahun 2009 lalu, merupakan
penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu panduan WHO 1997.
Klasifikasi
kasus yang disepakati sekarang adalah:
Dengue tanpa
tanda bahaya (dengue without warning signs),
Dengue
dengan tanda bahaya (dengue with warning signs), dan
Dengue
berat (severe Dengue)
Kriteria
dengue tanpa/dengan tanda bahaya :
Dengue probable
:
1.
Bertempat
tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
2.
Demam
disertai 2 dari hal berikut :
·
Mual,
muntah
·
Ruam
·
Sakit
dan nyeri
·
Uji
torniket positif
·
Lekopenia
·
Adanya
tanda bahaya
3.
Tanda
bahaya adalah :
·
Nyeri perut atau
kelembutannya
·
Muntah
berkepanjangan
·
Terdapat
akumulasi cairan
·
Perdarahan
mukosa
·
Letargi,
lemah
·
Pembesaran
hati > 2 cm
·
Kenaikan
hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat
Dengue
dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma tidak
jelas)
Kriteria
dengue berat :
·
Kebocoran
plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan
distress pernafasan.
·
Perdarahan
hebat, sesuai pertimbangan klinisi
·
Gangguan
organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran, gangguan jantung
dan organ lain)
Untuk
mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet,
walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat membantu
diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai
82 %.
4. Gambaran Klinis DBD
Masa inkubasi virus dengue dalam
manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala
muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh,
sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar
8-10 hari. Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue
(DD) dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari;
pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan
jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan
permeabilitas pembuluh. Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai
demam, beracun dan pemulihan.
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan
DBD, yaitu :
-Derajat
I : Dengan tanda terdapat demam
disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif)
-Derajat
II : Yaitu derajat I ditambah ada
perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain
-Derajat
III : Ditandai adanya kegagalan
sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20
mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar
mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah
-Derajat
IV : Ditandai dengan syok berat (profound
shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
5. Diagnosis DBD
Diagnosis klinis :
Ditandai demam akut, trombositopenia, perdarahan ringan-berat, kebocoran plasma hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia.
Ditandai demam akut, trombositopenia, perdarahan ringan-berat, kebocoran plasma hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia.
Diagnosis Laboratorium
:
a. Pemeriksaan Hematologi Rutin.
a. Pemeriksaan Hematologi Rutin.
b. Uji virology
c. Uji serologi
Terdapat
lima uji serologi dasar yang umum digunakan untuk mendiagnosis infeksi Dengue
secara rutin yaitu :
1. Uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutinasi inhibition = HI)
2. Uji Fiksasi komplemen (Complemen fixation = CF)
3. Uji Netralisasi (Neutralization test = NT)
4. IgM Capture enzymelinked immunosorbent assay (MAC ELISA)
5. Indirect lg G ELISA
1. Uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutinasi inhibition = HI)
2. Uji Fiksasi komplemen (Complemen fixation = CF)
3. Uji Netralisasi (Neutralization test = NT)
4. IgM Capture enzymelinked immunosorbent assay (MAC ELISA)
5. Indirect lg G ELISA
6. Pencegahan
DBD
Usaha pencegahan dan pemberantasan DBD yang telah dilakukan
pemerintah, antara lain dengan metode pengasapan (fogging) dan abatisasi. Penyemprotan
sebaiknya tidak dipergunakan, kecuali keadaan genting selama terjadi KLB atau
wabah.
Upaya yang paling tepat untuk
mencegah demam berdarah adalah membasmi
jentik-jentiknya ini dengan cara sebagai berikut :
Bersihkan ( kuras ) tempat penyimpanan air (seperti bak
mandi/WC, drum dll) seminggu sekali.
Tutuplah kembali tempayan
rapat-rapat setelah mengambil airnya, agar nyamuk Demam berdarah tidak dapat
masuk dan bertelur disitu.
Gantilah air di vas bunga dan pot
tanaman air setiap hari
Kubur atau buanglah sampah pada
tempatnya, plastik dan barang-barang bekas yang bisa digenangi air hujan
Untuk tempat-tempat
air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk Abateke dalam
genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali atau
peliharalah ikan ditempat itu.
Takaran penggunaan bubuk Abate adalah sebagai berikut : untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk Abate atau 10 gram untuk 100 liter dan seterusnya. Bila tidak ada alat untukmenakar, gunakan sendok makan. Satu sendok makan peres (yang diratakan di atasnya) berisi 10 gram Abate. Anda tinggal membaginya atau menambahnya sesuai dengan banyaknya air yang akan diabatisasi.Takaran tak perlu tepat betul. (Abate dapat dibeli di apotik-apotik).
Takaran penggunaan bubuk Abate adalah sebagai berikut : untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk Abate atau 10 gram untuk 100 liter dan seterusnya. Bila tidak ada alat untukmenakar, gunakan sendok makan. Satu sendok makan peres (yang diratakan di atasnya) berisi 10 gram Abate. Anda tinggal membaginya atau menambahnya sesuai dengan banyaknya air yang akan diabatisasi.Takaran tak perlu tepat betul. (Abate dapat dibeli di apotik-apotik).
7. Epidemiologi DBD
Demam
berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara yang paling ringan, demam
dengue (DD), DBD dan demam dengue
yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS). Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD
meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara
baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak
ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia
Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. Virus dengue
dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain
Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang
terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat
di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun diperkirakan 2,5
miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis
DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di
beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan
banyak menimbulkan kematian pada anak, 90% di antaranya menyerang anak di bawah
15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa
provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita
79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun
berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna
dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469
orang dengan kematian 1.187 orang atau
case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855
orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%. Penderita DBD yang tercatat
selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15 tahun (95%) dan
mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada
kelompok umur 15-44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur
>45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
9. Patofisiologi DBD
TAHAP PERSIAPAN
Tahap
persiapan dalam survailens epidemiologi penyakit demam berdarah merupakan
identifikasi faktor risiko DBD untuk menggambarkan tingkat risiko suatu
wilayah, yang telah diambil sebelum musim penularan DBD hingga mulai terjadinya
kasus melalui kegiatan survey cepat. Materi faktor risiko dibatasi pada faktor
perilaku dan lingkungan, sedangkan faktor vector (nyamuk) misalnya jarak
terbang nyamuk, jenis nyamuk dan kepadatan nyamuk tidak dimasukkan sebagai
variable mengingat tingginya tingkat mobilitas penduduk memungkinkan seseorang
menderita DBD dari penularan nyamuk di daerah lain. Pada tahap pertama
dihasilkan peta stratifikasi faktor risiko DBD untuk masing-masing desa. Hasil
dari tahap ini digunakan untuk intervensi guna pengendalian faktor risiko
sesuai hasil survey cepat. Materi
penelitian dianalisis berdasarkan unsur–unsure epidemiologi yaitu orang, tempat dan waktu, yang ditampilkan
dalam bentuk peta faktor risiko.
Implementasi
Dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada saat
menjelang musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan jenis
intervensi sehingga dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta
kegiatan lain, dan dengan teknik over
layer dapat dilakukan perencanaan maupun evaluasi program pemberantasan.
TAHAP PENGUMPULAN DATA
Berdasarkan Ditjen PPM & PL
Depkes RI (2005) dalam Leviana Erdiati (2009) bahwa Pengumpulan dan pencatatan data
dapat dilakukan yaitu :
1) Pengumpulan dan pencatatan dilakukan
setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD. Data
tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima puskesmas dapat berasal
dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau
puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit
pelayanan kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta,
dan lain – lain), dan hasil penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika
sudah ada konfirmasi dari rumah sakit / unit pelayanan kesehatan lainnya).
2) Untuk pencatatan tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku catatan harian penderita DBD’ yang
memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah
catatan (kolom) tersangka DBD.
Berdasarkan
penelitian sitepu dkk (2010) Pengumpulan data yang dilakukan dalam
pelaksanaan sistem surveilans DBD,
yaitu Petugas di DKK Singkawang
mengumpulkan. data kasus DBD dari rumah sakit (RS) dengan cara dijemput langsung.
Laporan dari RS akan ditabulasi untuk diteruskan kepada masing-masing petugas
di tingkat Puskesmas agar segera dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE).
Petugas
surveilans lebih aktif dalam mengumpulkan
data kasus DBD d a n menginformasikan
kepada petugas Puskesmas Petugas puskesmas melaksanakan active case finding di masyarakat di sekitar tempat
tinggal kasus.
TAHAP ANALISIS DAN
INTERPRETASI
a. Analisis Data
Data yang terkumpul dari kegiatan surveilans epidemiologi
diolah dan disajikan dalam bentuk tabel situasi demam berdarah tiap puskesmas,
RS maupun daerah. serta tabel endemisitas dan grafik kasus DBD per
minggu/bulan/tahun. Analisis dilakukan dengan melihat pola maksimal-minimal
kasus DBD, dimana jumlah penderita tiap tahun ditampilkan dalam bentuk
grafik sehingga tampak tahun dimana terjadi terdapat jumlah kasus
tertinggi (maksimal) dan tahun dengan jumlah kasus terendah (minimal). Kasus
tertinggi biasanya akan berulang setiap kurun waktu 3–5 tahun, sehingga
kapan akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat diperkirakan.
Analisis juga dilakukan dengan membuat rata–rata jumlah penderita tiap bulan
selama 5 tahun, dimana bulan dengan rata–rata jumlah kasus terendah merupakan
bulan yang tepat untuk intervensi karena bulanberikutnya merupakan awal musim
penularan.
Analisis
merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan
dipergunakan untuk perencanaan,monitoring dan evaluasi serta tindakan
pencegahan dan penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran
epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui
situasi, estimasi dan prediksi penyakit.
Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator
yang diperoleh dari hasil analisis data yaitu:
· Angka
kesakitan / CFR (Case Fatality Rate) merupakan jumlah kasus DBD
disuatu
wilayah tertentu selama 1 tahun tiap 100ribu
penduduk.
·
Angka
kematian / IR (Insidence Rate) adalah banyaknya penderita DBD yang meninggal dari seluruh
penderita DBD di suatu wilayah.
·
ABJ
(Angka Bebas Jentik)/ Case fatality rate didefinisikan sebagai prosentase
rumah yang bebas dari jentik dari seluruh rumah yang diperiksa.
Puskesmas,
Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas kesehatan
Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes berperan dalam penyelenggaraan Surveilans
Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas (STP Puskesmas), Rumah Sakit (STP
Rumah Sakit) dan Laboratorium (STP Laboratorium).
-
Unit
surveilans Puskesmas
-
Unit
surveilans Rumah Sakit
-
Unit
surveilans Laboratorium
-
Unit
surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
-
Unit
surveilans Dinas Kesehatan Propinsi
-
Unit
surveilans Ditjen PPM&PL Depkes
b. Interpretasi
Disamping
menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK, informasi juga harus
disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti Camat dan lurah,lembaga
swadaya masyarakat, Pokja/Pokjanal DBD dan lain-lain. Penyabarluasan informasi
dapat berbentuk laporan rutin mingguan wabah dan laporan insidentil bila
terjadi KLB.
Implementasi
Data surveilans DBD didapatkan dari
Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009 yang disajikan dalam bentuk tabel,
grafik yang menjelaskan penyebaran penyakit DBD di Indonesia. Penyebaran kasus
DBD dilihat dari tahun 1968 – 2009 di
seluruh provinsi di Indonesia yang disajikan dalam bentuk tabel. Dari data surveilans
tersebut juga dapat dilihat Angka Insiden ( AI ) / Insident Rate ( IR )
berdasarkan 100.000 penduduk dari tahun 1968 – 2009. JIka terjadi peningkatan
kasus DBD tiap tahunnya maka harus dilakukan program pengendalian DBD dan
menjadi perhatian utama pada tingkat Kota/Kabupaten maupun Puskesmas.
Selain itu, dengan menggunakan data
surveilans, Angka Insiden pada tahun 2009 di setiap Provinsi dapat diketahui.
Hasil analisi ini dapat disajikan menggunakan grafik sehingga dapat diketahui
Provinsi mana saja yang mengalami kasus DBD tertinggi maupun terendah. Selain
Analisis data surveilans DBD menurut tempat dan waktu, analisis juga dilakukan
menurut orang dengan menghitung Angka Insiden berdasarkan kelompok umur
dan Jenis Kelamin. Dari data yang ada,
dapat dihitung pula Angka Kematian /
Case Fatality Rate ( CFR ) berdasarkan provinsi di Indonesia.
Jika data surveilans didapatkan dari
laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien DBD di RS dari tahun
2004-2008 dan tidak diketahui jumlah rumah sakit yang melaporkan dari tahun ke
tahun, sehingga sulit menganalisis atau menginterpretasi data tersebut. Dari
data ini tampak cukup banyak pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu
dilakukan validasi data apakah pasien rawat jalan adalah pasien kontrol pasca
rawat inap saja atau pasien lama diitambah dengan pasien baru.
Selain
laporan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll. Analisis juga dapat menggunakan faktor-
faktor yang mempengaruhi kejadian DBD seperti perubahan iklim dapat
memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan
mengubah luas geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan
populasinya rendah atau dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang.
Selain perubahan iklim faktor risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD
adalah faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk
dan transportasi.
Selain itu,
laporan KLB yang didapatkan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll dapat digunakan
untuk analisis hubungannya dengan IR maupun CFR pada setiap provinsi. Yang
kemudian hasil analisis ini dapat
digunakan sebagai landasan atau acuan Puskesmas, RS, Dinkes dll. Untuk membuat
upaya program pencegahan DBD.
TAHAP DISEMINASI DAN
ADVOKASI
Tahap
Diseminasi
Tahap
disseminasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring &
evaluasi, koordinasi kajian, pengembangan dan diseminasi, serta pendidikan dan
pelatihan bidang surveilans epidemiologi (BBTKLPP, 2013). Yang mana hasil
analisis dan interpretasi didiseminasikan kepada orang-orang yang
berkepentingan dan sebagai umpan balik (feedback)
agar pengumpulan data di masa yang
akan datang menjadi lebih baik. Diseminasi berguna kepada orang-orang yang
mengumpulkan data, decision maker,
orang-orang tertentu (pakar) dan masyarakat. Pelaksanaan diseminasi dapat
berupa buletin dan laporan, seminar, symposium serta laporan (Isna, 2013).
Contohnya
seperti yang tertera pada Buletin Jendela Epidemiologi tahap disseminasi
informasi yang telah dilakukan yaitu :
·
Buletin Jendela Epidemiologi Vol.2 yang
diterbitkan pada Agustus 2010 merupakan salah satu bentuk disseminasi informasi
surveilans epidemiologi pada penyakit DBD yang diterbitkan oleh Kementerian
Kesehatan RI.
·
Laporan data berupa grafik dan tabel
mengenai kejadian DBD yang bersumber dari penelitian, Depkes RI dan WHO.
·
Metode komunikasi/penyampaian
informasi/pesan pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN (Pemberantasan
Sarang Nyamuk) melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for Behavioral Impact
(COMBI).
Tahap Advokasi
Tahap
advokasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring &
evaluasi, koordinasi pelaksanaan advokasi dan fasilitasi kejadian luar biasa,
serta wabah dan bencana (BBTKLPP, 2013). Advokasi dilakukan
kepada Bupati / Walikota dan DPRD.
Contohnya
seperti yang tertera pada Buletin Jendela Epidemiologi tahap advokasi yang
telah dilakukan yaitu :
·
Pengendalian vektor melalui surveilans
vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir
oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.
·
Pada provinsi yang belum mencapai target
dalam menurunkan AK maka dilakukan pelatihan manajemen
kasus terhadap petugas,
penyediaan sarana dan
prasarana untuk deteksi
dini dan penanganan yang tepat dan cepat.
TAHAP EVALUASI
Tahap evaluasi system surveilans merupakan
suatu tahapan dalam surveilans yang dilakukan secara sistematis untuk menilai
efektivitas program. Hasil evaluasi terhadap data system surveilans selanjutnya
dapat digunakan untuk perencanaan, penanggulangan khusus serta program
pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi
dan perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk
kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.
Setiap
program surveilans sebaiknya dinilai secara periodic untuk mengevaluasi
manfaatnya. Sistem atau program tersebut dikatakan dapat berguna apabila secara
memuaskan memenuhi paling tidak salah satu dari pernyataan berikut :
-
apakah kegiatan surveilans dapat
mendeteksi kecenderungan yang mengidentifikasi perubahan dalam kejadian kasus
penyakit,
-
apakah program surveilans dapat mendeteksi
epidemic kejadian penyakit di wilayah tersebut,
-
apakah kegiatan surveilans dapat
memberikan informasi tentang besarnya morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan kejadian penyakit di wilayah tersebut,
-
apakah program surveilans dapat
mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian
penyakit, dan
-
apakah program surveilans tersebut dapat
menilai efek tindakan pengendalian (Arias, 2010).
Seperti contoh kasus DBD, surveilans epidemiologi
untuk kasus DBD ini juga memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Hingga
diakhir tahapan dilakukannya evaluasi dari system surveilans epidemiologi DBD
tersebut.
Berdasarkan pemaparan pada bulletin Jendela
Epidemiologi DBD tersebut, data hasil surveilans DBD seperti angka kejadian DBD
tertinggi tahun 2009 terdapat pada daerah DKI Jakarta. Sehingga, perlu
dilakukannya evaluasi serta peningkatan yang lebih signifikan lagi dalam
program-program pemberantasan kasus DBD di provinsi tersebut. Seperti, program
pengendalian vektor DBD. Program tersebut dapat dilakukan dengan beberapa
metode yakni :
é Pengendalian
Biologis (pengendalian jumlah predator vector untuk mengendalikan jumlah vektor
DBD)
é Pengendalian
kimiawi (melalui penggunaan insektisida)
é Perlindungan
individu (penggunaan repellent,
penggunaan pakaian yang menguran gigigitan nyamuk)
é Partisipasi
masyarakat
é Peraturan
Perundangan (bahwa pengendalian DBD juga memerlukan peran serta masyarakat
bukan hanya dari sector kesehatan).
Dengan
adanya evaluasi program-program kesehatan yang telah dilakukan diharapkan dapat
lebih mengefektifkan serta mengefisienkan program pengendalian kasus DBD.
Sehingga, program pengendalian yang dilakukan tidak hanya sia-sia dan dapat
bermanfaat khususnya dalam menurunkan jumlah kejadian kasus DBD di daerah
setempat.
Kelebihan Sistem Surveilans DBD
Berdasarkan
Buletin Jendela Epidemiologi yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi, Kementerian Kesehatan RI, dengan topik Demam Berdarah Dengue di
Indonesia Tahun 1968-2009. Kelebihan dari Sistem Surveilans Epidemiologi Demam
Berdarah, yaitu :
1. Dengan
dilakukannya kegiatan sistem surveilans terhadap penyakit Demam Berdarah, kita
dapat mengetahui bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang memiliki tingkat
DBD tertinggi di Asia Tenggara menurut WHO sejak tahun 1968-2009.
2. Dengan
adanya kegiatan sistem surveilans epidemiologi Demam Berdarah, menambah
informasi terkait dengan penyebaran DBD di provinsi-provinsi dan kabupaten/kota
terutama di Indonesia apakah DBD tersebut setiap tahunnya menurun atau malah
mengalami penurunan.
3. Sistem
surveilans epidemiologi dapat menunjukkan berapa besar angka insiden suatu
penyakit DBD di Indonesia sejak tahun 1968-2009.
4. Dengan
adanya sistem surveilans epidemiologi dapat memudahkan kita untuk mengetahui
bagaimana sebaran kasus DBD berdasarkan waktu dan perubahan iklim.
5. Sistem
surveilans epidemiologi Demam Berdarah, mengumpulkan dan mengolah data tentang
penyakit DBD dengan berbagai dasar pengelompokan. Seperti jumlah dan penyebaran
kasus DBD, berdasarkan kelompok umur, berdasarkan provinsi, berdasarkan jenis
kelamin, dan lain-lain. Dengan demikian dapat sangat membantu kita dalam
mendapatkan data untuk digunakan dalam penelitian ataupun yang lainnya.
6.
Dengan
data yang diperoleh dari sistem surveilans epidemiologi Demam Berdarah kita
dapat mengetahui dengan pasti berapa besar angka kematian yang muncul akibat
penyakit DBD dan juga kasus kejadian luar biasa (DBD) yang terjadi akibat dari
penyakit DBD ini.
7. Sajian-sajian
data dalam bentuk diagram, tabel, peta, dan sebagainya, dan juga analisis dari
sistem surveilans epidemiologi Demam Berdarah sangat membantu untuk mengetahui
penyebaran kasus DBD di Indonesia.
8. Dengan
adanya kegiatan sistem surveilans epidemiologi Demam Berdarah, kita dapat
mengetahui bagaimana cara pengendalian dari penyakit DBD di Indonesia sehingga
angka insiden, angka kematian, dan angka kejadian luar biasa (KLB) dapat
ditangani dengan baik atau malah dapat dihilangkan. Sehingga Indonesia nantinya
bebas dari penyakit DBD.
Kekurangan Sistem
Surveilans DBD
1.
Laporan
yang tidak lengkap.
Laporan kasus rawat inap dan kasus rawat
jalan pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008 tidak diketahui. jumlah rumah sakit
yang melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit menganalisis atau
menginterpretasi data tersebut. Dari data ini tampak cukup banyak pasien DBD
yang di rawat jalan, sehingga perlu dilakukan validasi data apakah pasien rawat
jalan adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja atau pasien lama diitambah
dengan pasien baru.
2.
Sistem
laporan yang belum terintegrasi.
Berdasarkan
laporan yang bersumber dari Ditjen.PP&PL dan laporan yang bersumber dari
Ditjen.Yanmed tampak perbedaan jumlah kasus DBD yang dilaporkan. Hal ini
kemungkinan karena sistem laporan DBD belum terintegrasi dan belum ada mekanisme
tukar menukar (sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota.
Sistem pelaporan kasus DBD perlu diperkuat agar bisa mendapatkan data yang
valid, dengan membangun sistem tukarmenukarndata antara data Puskesmas dan data
RS.
3.
Kurangnya
partisipasi/kesadaran masyarakat untuk melaporkan.
Faktor
perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan melaporkan
setiap kejadian dbd yang terjadi baik kepada puskesmas maupun rumah sakit
sehingga data yang dilaporkan bebbeda dengan yang ada di lapangan. Hal ini
apakah karena adanya keengganan melaporkan terjadinya KLB DBD oleh pemerintah
daerah atau karena lemahnya sistem pelaporan KLB, untuk mengetahuinya perlu
diteliti lebih lanjut.
4.
Kurangnya
ketegasan dalam menerapkan kebijakan survey.
Kebijakan
tentang survey dbd memang sudah di tetapkan, tapi pelaksanaannya masih kurang
terkait dengan kurang yang sumber daya manusia yang kurang berkompeten dalam
melakukan survey dan anlisis data tersebut.
CONTOH SAJIAN DATA
SURVEILANS DBD
Angka
Insiden
Dari Gambar di bawah ini tampak
siklus epidemik terjadi setiap sembilan-sepuluh tahunan, hal ini terjadi
kemungkinan karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan
vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor perilaku dan
partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan
mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi
menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.
Dalam
lima tahun terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi dapat dilihat
pada Gambar. Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada
dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang
paling tinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan
penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih
baik disbanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan
lebih luas. Berbeda dengan Kaltim yang penduduknya tidak terlalu padat, menurut
SUPAS 2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta
13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di
Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi sepanjang
tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah
berkembang biak.
Berdasarkan
AI suatu daerah dapat dikategorikan termasuk dalam risiko tinggi, sedang dan
rendah yaitu risiko tinggi bila AI > 55per 100.000 penduduk, risiko sedang
bila AI 20-55 per 100.000 penduduk danrisiko rendah bila AI <20 per 100.000
penduduk. Dari Gambar 3 di atas terlihat dari tahun 2005 hingga 2009, jumlah
provinsi yang berisiko tinggi (high risk) meningkat dan terjadi
perubahan. Misalnya pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali
masuk sebagai daerah risiko tinggi dimana pada tahun ini terjadi epidemik
(Gambar 1). Tetapi pada tahun 2009 terjadi perubahan dimana provinsi Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masuk dalam resiko tinggi.
Angka Kematian
Contoh
sajian data angka kematian akibat penyakit DBD di setiap Provinsi pada tahun
2009
Dari
grafik di atas pada tahun 2009, provinsi dengan Angka Kematian tertinggi karena
DBD adalah Bangka Belitung (4,58%), Bengkulu (3,08%) dan Gorontalo (2,2%).
Provinsi yang angka kematian tidak ada adalah Sulawesi Barat. Tetapi sebagian
besar provinsi atau 19 provinsi (61,3%) belum mencapai target CFR < 1%, maka
dari itu setiap pemerintah provinsi harus lebih mencanangkan penanggulangan dan
pemberantasan penyakit DBD.
Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD
Jumlah
kasus KLB DBD yang dilaporkan pada tahun 1998 – 2009 tampak berfluktuasi. Demikian
juga dengan jumlah provinsi dan kabupaten yang melaporkan KLB DBD dari tahun
1998 – 2009 tampak berfluktuasi. Tampak pada tahun 1998 dan 2004 jumlah
kab/kota melaporkan kejadian KLB DBD paling tinggi yaitu 104 kab/kota dan 75
kab/kota. Pada tahun tersebut juga dilaporkan jumlah kasus DBD
mengalami peningkatan. Tahun 1998 kasus KLB menyumbang 58%
(41.843/72.133) dari total laporan kasus DBD, sedangkan tahun 2004 kasus KLB
hanya menyumbang 9,5% (7.588/79.462) dari kasus DBD. Setelah tahun 2004 AI dan
kasus absolut DBD terus meningkat namun laporan kasus KLB dan jumlah kab/kota
yang melaporkan KLB terus menurun. Hal ini apakah karena adanya keengganan
melaporkan terjadinya KLB DBD oleh pemerintah daerah atau karena lemahnya
sistem pelaporan KLB, untuk mengetahuinya perlu diteliti lebih lanjut.
Pada
Gambar di bawah ini, tampak AK pada KLB setelah tahun 1999 mulai tampak mengalami
penurunan, namun umumnya masih diatas 1 persen, kecuali pada tahun 2002, 2007
dan 2008. Pada tahun 2009 AK meningkat
di atas 1 persen, setelah mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2008,
sedangkan pada tahun 2009 jumlah kasus KLB yang dilaporkan lebih rendah dari
tahun 2008 (lihat Gambar). Hal ini perlu menjadi perhatian dan diteliti
faktor-faktor yang mempengaruhi, sehingga dapat diketahui upaya pencegahannya
dan dilakukan tindak lanjut.
Sajian
Data di Rumah Sakit
Laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien DBD di RS
dari tahun 2004-2008 tidak diketahui jumlah rumah sakit yang melaporkan dari
tahun ke tahun, sehingga sulit menganalisis atau menginterpretasi data
tersebut. Dari data ini tampak cukup banyak pasien DBD yang di rawat jalan,
sehingga perlu dilakukan validasi data apakah pasien rawat jalan adalah pasien
kontrol pasca rawat inap saja atau pasien lama diitambah dengan pasien baru.
Dari data ini tampak peringkat kematian DBD (menurut 50 peringkat kematian),
tidak termasuk dalam 10 besar penyebab kematian. Berdasarkan laporan yang
bersumber dari Ditjen.PP&PL dan laporan yang bersumber dari Ditjen.Yanmed
tampak perbedaan jumlah kasus DBD yang dilaporkan. Hal ini kemungkinan karena
sistem laporan DBD belum terintegrasi dan belum ada mekanisme tukar menukar
(sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota.
No
|
Tahun
|
Rawat
jalan
|
Rawat inap
|
50 peringkat kematian
|
||||
Lk
|
Pr
|
Total
|
Lk
|
Pr
|
Total
|
|||
1
|
2004
|
13.960
|
12.536
|
26.496
|
26.420
|
23.321
|
49.741
|
19
|
2
|
2005
|
23.041
|
19.866
|
42.907
|
40.913
|
36.626
|
77.539
|
30
|
3
|
2006
|
22.699
|
20.905
|
43.604
|
42.312
|
39.080
|
81.392
|
20
|
4
|
2007
|
27.226
|
28.120
|
55.346
|
42.603
|
38.172
|
80.775
|
27
|
5
|
2008
|
4.467
|
4.214
|
8.681
|
47.334
|
43.132
|
90.466
|
8
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi,
Umar Fahmi, dkk. 2010. Buletin Jendela
Epidemiologi: Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan RI.
Andini,
Dwi. 2012. Patofisiologi DHF. Unpad
Choir. Tersedia di: http://www.slideshare.net/DwiAndini2/patofisiologi-dhf,
diakses tanggal 6 November 2013
BBTKLPP.
2013. Surveilans Epidemiologi.
Terdapat di http://www.btklsby.go.id/2010/01/surveilans-epidiomiologi.php.
diakses pada tanggal 6 November 2013.
Candar, Aryu. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi,
Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. Tersedia di: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/download/2951/2136,
diakses tanggal 5 November 2013
Chandra, Aryu. 2010. Demam Berdarah
Dengue: Epidemiologi,
Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan.
Aspirator
Vol. 2 No. 2: 110 –119. http://www.ejournal.litbang.depkes.go.id. diakses pada Selasa,
5 November 2013.
Epidemiologi,
Jendela Buletin. 2010. Demam Berdarah
Dengue. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI : Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi. (E-Jurnal). www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20DBD.pdf diakses tanggal 6 November 2013.
Erdiati, Leviana. 2009.
Pengembangan sistem surveilens
epidemiologi. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
tersedia di http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125435-S-5643-Pengembangan%20sistem-Literatur.pdf.,
diakses 6 November 2013.
Health,
Public. Surveilens
Epidemiologi DBD. http://www.indonesian-publichealth.com/2013/02/surveilans-epidemiologi-dbd.html. diakses pada Selasa, 5
November 2013.
Isna,
Nilna R. 2013. Pendahuluan Surveilans
Epidemiologi. Terdapat di http://catatankuliahnya.wordpress.com/category/semester-4/.
diakses pada tanggal 6 November 2013.
Iswanto,
Joni. Demam
Berdarah dan Diagnosa Klinik. http://www.sumbarsehat.com/2012/06/demam-berdarah-dan-diagnosa.html. diakses pada Selasa, 5
November 2013.
Keputusan
menteri kesehatan republik indonesia. 2003. Pedoman
penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi Penyakit menular dan penyakit
tidak menular terpadu. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Noor,
Noor Nasri. 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit
Menular. Jakarta: Rineka Cipta Murti,
Bhisma. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University
Nurhaeni
Fadhilla, Syilfa. 2010. Bagaimana Sistem Survailens
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)?, Tersedia di www.cilpacubb.blogspot.com/2010/11/bagaimana-sistem-surveilans-penyakit_26.html
diakses pada 7 November 2013 pukul 08.16 WIB.
Sitepu , Frans Yosep. 2010. Evaluasi
Dan Implementasi Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Kota
Singkawang, Kalimantan Barat. Balaba Vol. 8, No. 01, Jun 2012 : 5-10. http://bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/download/3259/3255, diakses
Tanggal 6 November 2013.
Soegijanto,
Soegeng. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi
Infeksi Virus Dengue. Surabaya: UNAIR. Tersedia di : http://www.gobookee.org/get_book.php?u=aHR0cDovL29sZC5wZWRpYXRyaWsuY29tL2J1bGV0aW4vMjAwNjAyMjAtOG1hMmdpLWJ1bGV0aW4ucGRmClBhdG9nZW5lc2EgZGFuIFBlcnViYWhhbiBQYXRvZmlzaW9sb2dpIEluZmVrc2kgVmlydXMgRGVuZ3Vl
, diakses tanggal 6 November 2013
Topik
Utama Buletin Jendela Epidemiologi. 2010. Demam
Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009. Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI.
VIDEO
MARETALINIA (10111001010): Pada kekurangan sistem Surveilans DBD "belum ada mekanisme tukar menukar (sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota". Yang ingin saya tanyakan adalah mengapa harus ada mekanisme tukar menukar data? dan bagaimana pengumpulan data melalui surveilans aktif pada surveilans DBD? Terima kasih.. :)
BalasHapusSaya WULANDARI ( 10111001035 ) akan mencoba menjawab..
BalasHapusMekanisme tukar menukar (sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota dilakukan oleh Dinas kesehatan bukan dilakukan langsung oleh Puskesmas dan RS. Dinas Kesehatan meminta data dari puskesmas dan RS. Setelah data didapatkan, dinas kesehatan akan menyesuaikan / mensinkronisasikan data dari puskesmas dan RS. Tujuannya untuk mencegah kesalahan pencatatan, tumpang tindih pasien di Puskesmas dan RS sehingga mendapatkan data yang lebih valid.
Surveilans aktif pada surveilans DBD dapat dilakukan oleh petugas surveilans dengan terjun langsung mengambil data ke daerah –daerag yang bersangkutan. Untuk pengambilan data yang berhubungan dengan medis ( virologi serologi, dll ), petugas surveilans dapat bekerjasama dengan petugas medis ( dokter ). Jika hanya ingin mendapatkan data seperti ABJ ( Angka Bebas Jentik ), petugas dapat bekerjasama tidak harus dari medis seperti dari mahasiswa, kader dan lain-lain.
verra anggani (10111001024)
BalasHapusAssalamualaikum saya mau bertanya kepada teman" kelompok DBD, kita ketahui surveilans itu memi8liki beberap indikator dalam pelaksanaannya. Apa indikator spesifik dari surveilans malaria ini ?
AYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI DANU BERKTAKA BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI DANU YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI DANU DI 085 332 608 333 ATAU
BalasHapusAda Obat Herbal Alami yang aman & efektif. Untuk Panggilan Cure Total +2349010754824, atau email dia drrealakhigbe@gmail.com Untuk Janji dengan (Dr.) AKHIGBE hubungi dia. Pengobatan dengan Obat Herbal Alami. Untuk: Demam Berdarah, Malaria. Menstruasi yang Nyeri atau Tidak Teratur. HIV / Aids. Penderita diabetes. Infeksi vagina. Keputihan Vagina. Gatal Dari Bagian Pribadi. Infeksi payudara. Debit dari Payudara. Nyeri & Gatal pada Payudara. Nyeri perut bagian bawah. Tidak Ada Periode atau Periode Tiba-tiba Berhenti. Masalah Seksual Wanita. Penyakit Kronis Tekanan Darah Tinggi. Rasa sakit saat berhubungan seks di dalam Pelvis. Nyeri saat buang air kecil. Penyakit Radang Panggul, (PID). Menetes Sperma dari Vagina Serta Untuk jumlah sperma rendah. Penyakit Parkinson. Lupus. Kanker. TBC Jumlah sperma nol. Bakteri Diare.Herpatitis A&B, Rabies. Asma. Ejakulasi cepat. Batu empedu, Ejakulasi Dini. Herpes. Nyeri sendi. Pukulan. Ereksi yang lemah. Erysipelas, Tiroid, Debit dari Penis. HPV. Hepatitis A dan B. STD. Staphylococcus + Gonorrhea + Sifilis. Penyakit jantung. Pile-Hemorrhoid. Rematik, tiroid, Autisme, pembesaran Penis, Pinggang & Nyeri Punggung. Infertilitas Pria dan Infertilitas Wanita. Dll. Ambil Tindakan Sekarang. hubungi dia & Pesan untuk Pengobatan Herbal Alami Anda: +2349010754824 dan kirimkan email ke drrealakhigbe@gmail.com Catatan Untuk Pengangkatan dengan (Dr.) AKHIGBE. Saya menderita kanker selama setahun dan tiga bulan meninggal karena sakit dan penuh patah hati. Suatu hari saya mencari melalui internet dan saya menemukan kesaksian penyembuhan herpes oleh dokter Akhigbe. Jadi saya menghubungi dia untuk mencoba keberuntungan saya, kami berbicara dan dia mengirim saya obat melalui jasa kurir dan dengan instruksi tentang bagaimana meminumnya. Untuk kejutan terbesar saya minum obat herbal dalam waktu tiga minggu saya mendapat perubahan dan saya sembuh total . Saya tidak benar-benar tahu bagaimana itu terjadi tetapi ada kekuatan dalam pengobatan herbal Dr Akhigbe. Dia adalah dokter jamu yang baik.
BalasHapus