Kamis, 07 November 2013

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI POLIO

POLIO



 Penderita POLIO
Penyebab 
Penyakit ini disebabkan oleh virus Polio .





Masa inkubasi
Biasanya 7 sampai 14 hari, dengan kurun waktu antara 3 sampai 35 hari.
Penanganan
Orang yang diduga terinfeksi harus dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut dan isolasi. Dewasa ini, tidak ada perawatan penyembuhan untuk penyakit tersebut.
Pencegahan
Vaksinasi adalah cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit polio. Terdapat dua jenis vaksin polio: Vaksin Polio Oral (OPV) yang diberikan melalui mulut dan Vaksin Polio Inaktivasi (IPV) yang diberikan melalui suntikan.
 

Sejak pertama ditemukan kasus index, virus menyebar dengan cepat dan jumlah anak yang terinfeksi terus meningkat, hingga akhir tahun 2005 jumlah kasus polio liar mencapai 303 pada 46 kabupaten di 10 provinsi di pulau Jawa dan Sumatra. Selain itu pada tahun 2005 di Indonesia juga ditemukan KLB circulating vaccine derived poliovirus (cVDPV) di empat kabupaten di pulau Madura Jawa Timur, dilaporkan VDPVs sebanyak 46 kasus.

Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN) yang intensif, jumlah kasus virus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya ditemukan dua kasus. Kasus terakhir (virus polio liar type 1) ditemukan di kabupaten Aceh Tenggara provinsi Aceh dengan onset tanggal 20 Februari 2006. Dua setengah tahun setelah kasus terakhir, belum ada kasus baru yang dilaporkan.
            Kasus polio di Indonesia pada tahun 2005 terjadi pertama kali di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat yang dengan cepat menyebar ke provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung. Data terakhir melaporkan secara total terdapat 295 kasus polio 1 yang tersebar di 10 Provinsi dan 22 kabupaten/kota di Indonesia.



         Dalam sidang WHA ke-41 (World Health Assembly- sidang para menteri kesehatan dari negara-negara WHO) tahun 1988 dan Summit for Children tahun 1990 oleh Menteri Kesehatan sedunia telah disepakati melalui komitmen global Eradikasi Polio (ERAPO) pada tahun 2000. Strategi yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam rangka Eradikasi Polio (ERAPO) tahun 2000 antara lain: Penambahan dosis ke-4 Imunisasi Polio rutin, Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan Surveilans Polio yang meliputi Surveilans Polio Liar (SPL) dan Surveilans Acute Flaccid Paralysis (SAFP) (Rina dan Ritarwan 2009).Surveilans AFP adalah pengamatan terhadap semua gejala yang mirip polio dengan kelumpuhan bersifat layuh dan mendadak pada anak usia < 15 tahun. Puskesmas sebagai coordinator community based surveillance bertanggung jawab terhadap semua kasus AFP yang ada di wilayah kerjanya dengan mengikutsertakan petugas kesehatan yang ada dalam upaya penemuan kasus AFP di masyarakat (Lenni, 2004). Surveilans Polio bertujuan untuk memantau adanya transmisi virus polio liar disuatu wilayah, sehingga upaya pemberantasannya menjadi terfokus dan efisien. Paralysis). Sasaran surveilans adalah kelompok yang rentan terhadap poliomyelitis yakni anak berusia dibawah 15 tahun. Untuk meningkatkan sensitifitas dan surveilans polio, pengamatan dilakukan pada semua kelompok yang terjadi secara akut dan sifatnya layuh. Untuk mencapai sertifikat bebas polio di Indonesia ternyata tidak mudah, setelah kasus polio hamper tidak ada lagi di Indonesia tiba- tiba pada 17 Maret 2005, seorang dokter praktek swasta melaporkan satu kasus AFP atau lumpuh layuh ke Puskesmas Cidahu, Sukabumi. liar. Akhirnya pada 29 April 2005 oleh Tim Kajian Epidemiologi Lapangan Menteri Kesehatan RI, dilaksanakan Mopping up imunisasi polio di 3 provinsi yakni DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ternyata virus polio liar yang ditemukan di Sukabumi oleh kajian Laboratorium Global Specific Laboratory (GSL) Mumbai berdasarkan tes DNA sequencing, ditemukan strain yang sama dengan virus polio Sudan yang beredar di Arab Saudi pada saat musim haji (Rina dan Ritarwan 2009).

Pada tahun 2013, Pemerintah kembali mengeluarkan upaya eradikasi polio yang meliputi 4 strategi utama yaitu 1) menghentikan transmisi virus polio liar dengan melakukan penguatan imunisasi polio (imunisasi rutin, bila perlu dilakukan imunisasi tambahan) dan surveilans AFP; 2) mendapatkan sertifikat telah bebas dari polio; 3) menyimpan virus polio liar pada laboratorium-laboratorium yang telah ditentukan, untuk mencegah resiko reintroduksi virus liar dari diagnostic dan penelitian pada masyarakat ; 4) stockpile mOPV, mungkin diperlukan untuk respon terhadap cVDPV atau kegagalan penyimpanan (containment) (Gendrowahyuhono dkk 2010).
Sampai saat ini, pemerintah terus berupaya melakukan eradikasi polio hingga kasus polio benar- benar hilang di Indonesia tidak bersisa satupun. Sebab walaupun hanya 1 kasus yang muncul, maka daerah tersebut telah tergolong KLB polio. Hal ini berdasarkan Kepmenkes no. 483/Menkes/SK/IV/2007 disebutkan pada lampiran bahwa untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus polio, dilakukan pengamatan semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya flaccid (layuh), penyakit yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomyelitis disebut kasus AFP, di suatu wilayah bila ada 1 kasus merupakan KLB. Hal ini mengartikan bahwa setiap ditemukan satu kasus AFP disuatu daerah maka kasus tersebut adalah KLB untuk daerah tersebut (Depkes RI 2003 dalam Prasetyowati dkk 2011).

Dalam melacak kasus polio, baik tidaknya surveilen polio yang dilakukan menentukan kualitas hasil pelaporan kasus. Sehingga dibutuhkan jaringan surveilans yang canggih dan sahih agar mampu mendeteksi adanya kasus polio, kasus AFP dan adanya transmisi virus polio liar.. Selain itu analisa data akan bermanfaat untuk memperbaiki kinerja surveilans dan persiapan dokumentasi untuk sertifikasi bebas polio pada tahun mendatang. Kinerja surveilans aktif dipantau dengan menggunakan indicator internal dan indikator ketahanan surveilans (Prasetyowati dkk, 2011).
 



SAFP (Surveilans acute flaccid paralysis)

AFP (Accute Placcid Paralysis) adalah kasus lumpuh layu yang belum tentu polio. Surveilans AFP dilakukan melalui tata laksana kasus AFP dan penegakan diagnosis oleh laboratorium. 





IMPLEMENTASI SURVEILANS POLIO
Imunisasi Polio masuk dalam Program Imunisasi di Indonesia pada tahun 1982. Pada tahun 1995 ditemukan kasus polio sehingga dalam rangka melindungi seluruh balita dan mencapai target eradikasi bagi balita yang belum terjangkau dari imunisasi rutin polio, maka diadakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan mop-up merupakan kegiatan imunisasi tambahan untuk memutus penyebaran virus polio. PIN dan mop-up tidak dapat menggantikan imunisasi rutin sehingga walaupun anak sudah mendapatkan PIN lebih dari 4 kali, imunisasi rutin tetap diberikan.
Di Indonesia, PIN telah dilakukan pada tahun 1995,1996,1997. Selain itu pada tahun 1998 dilakukan mop-up di 5 kecamatan di Papua, tahun 1999 Bulan Imunisasi anak sekolah polio dari kelas III sampai VI SD secara Nasional. Tahun 2000, dilaksanakan subpin di 5 provinsi yaitu : Papua, Maluku, NTT, Maluku Utara dan NAD. Tahun 2001 subpin di 10 kabupaten di 5 provinsi. Semenjak tahun 1995 tidak ditemukan lagi infeksi virus polio liar yang dari Indonesia.
Pada Maret 2005 terjadi KLB polio di Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menurut hasil Laboratorium Virologi Bio Farma dan Laboratorium Virologi Rujukan WHO di Mumbai, India, virus yang ditemukan pada penderita Polio di Cidahu adalah virus import strain Nigeria yang masuk ke Indinesia melalui jalur Timur Tengah yang dikarenakan tingginya mobilitas manusia dan majunya transportasi. Untuk mengatasi virus Polio liar berlanjut, telah dilakukan upaya sebagai berikut:
1.      Diberikannya perlindungan bagi anak disekitar penderita agar tidak menderita kelumpuhan (Outbreak Response Immunization).
2.      Melakukan mopping-up, upaya untuk menyetop penyebaran virus polio luar dnegan jangkauan daerah yang lebih luas. Tindakan ini dilakukan menyusul ditemukannya beberapa kasus polio di beberapa propinsi yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Riau, NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Timur, DKI Jakarta.
3.      Diadakannya Pekan Imunisasi Nasuinal kepada seluruh balita di Indonesia. Srtiap PIN dilakukan sebanyak 2 putaran, berselang minimal satu bulan. Pada tahun 2005 dilakukan PIN sebanyaj 3 kali yaitu pada bulan Agustus, September, dan November. Pada tahun 2006, Indonesia melakukan sub-pin di 57 Kabupaten di 6 Propinsi yang terjangkit Polio, yaitu tanggal 30 Januari 2006, serta PIN ke-4 dan ke-5 pada tanggal 27 Februari 2006 dan 12 April 2006 dengan cakupan masing-masing 95%.
4.      Dalam upaya eradikasi polio pada tahun 2013, dilakukanprioritas-prioritas sebagai berikut:
-  Menghentikan transmisi virus polio liar dengan melakukan penguatan imunisasi polio
-  Mendapatkan sertifikat telah bebas dari polio
- Menyimpan virus polio pada laboratorium-laboratorium yang telah ditentukan, untuk mencegah risiko reintroduksi virus liar dari diagnostic dan penelitian pada masyarakat
-  Stockpile mOPV, mungkin diperlukan untuk respom terhadap cVDPV atau kegagalan penyimpanan (containment).





Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan setelah penggantian OPV ke IPV adalah :
1.      Survei cakupan imunisasi IPV4 pada tahun 2010.
2.  Survei serologis pada anak yang telah mendapat imunisasi IPV4 pada tahun 2010, untuk mengetahui serokonversi antibody anak terhadap IPV dan akan dibandingkan dengan serokonversi antibodi anak sebelum mendapat IPV
3.      Meneruskan survei lingkungan untuk memonitor sirkulasi virus polio di masyarakat sampai tahun 2012
4.  Monitoring pelaksanaan imunisasi dengan IPV di seluruh propinsi D.I.Yogyakarta untuk mengetahui kendala/masalah-masalah yang timbul dalam operasionalnya dan manfaatnya imunisasi dengan IPV sampai tahun 2012.


Dua puluh tahun silam, polio melumpuhkan 1.000 anak tiap harinya di seluruh penjuru dunia. Tapi pada 1988 muncul Gerakan Pemberantasan Polio Global. Lalu pada 2004, hanya 1.266 kasus polio yang dilaporkan muncul di seluruh dunia. Sementara itu, Hanya 177 kasus yang tercatat secara global hingga Oktober 2012, turun 502 kasus pada periode yang sama tahun lalu, ujar para virolog yang menghadiri pertemuan tahunan American Society of Tropical Medicine and Hygiene di Atlanta (Antara News 2012). Di Indonesia, berdasarkan jumlah total kasus polio dalam rentang tahun 2004- 2006 yang muncul di 10 propinsi di Indonesia yaitu 302 kasus, dimana kasus polio paling banyak terjadi di Banten dengan 161 kasus (Depkes 2006). Jumlah ini merupakan 18,5% total jumlah penderita polio didunia. Indonesia menduduki rangking ke 3 setelah Nigeria (629 kasus) dan Yaman (476 kasus). Total kasus polio di Dunia pada 17 Januari 2006 yaitu 1831 (Subdit Imunisasi Ditjen PP & PL Dep-Kes RI dalam LSPL 2006).








Kelebihan surveilans polio :
1.  Memberi informasi mengenai gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu-ibu bayi dan balita mengenai penyakit polio
2.   Meningkatkan kesadaran ibu khususnya yang memiliki bayi dan balita dalam menjaga anak terhadap serangan virus polio liar.
3.   Dapat mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah, sehingga dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi virus polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.
4.    Memantau perkembangan program eradikasi polio. 
5. Dengan tercapainya eradikasi polio dunia terbebas dari penyakit Polio  dan cacat/lumpuh/layu yang terjadi akibat penyakit tersebut.
6. Mengurangi pengeluaran biaya yang diperlukan oleh sistem kesehatan untuk menyelenggaraka imunisasi dan perawatan kasus-kasus Polio yang diperkirakan mencapai US S 1.5 milyar pertahun.
7.   Mengurangi angka kejadian polio di Indonesia.
        8. Terdeteksinya mata rantai penyebab penyakit polio dan dapat disusunnya program    perencanaan yang terstruktur untuk menanggulanginya.  

    Kekurangan survei polio :
1. Khusus penyakit polio, kegiatan surveillans sangat tergantung pada pelayanan laboratorium.
2. Responden dapat memahami pertanyaan secara berbeda dari yang diinginkan.
3. Ada kemungkinan responden yang terlibat tidak sesuai dengan karekteristik sample yang dituju.     
4. Dibutuhkannya banyak data dari semua daerah di Indonesia. 
5. Waktu yang lama dan mahalnya dana yang dibutuhkan.
6. Kemampuan SDM yang tidak merata. 
7. Sulitnya pendistribusian vaksin polio ke daerah-daerah terpencil.
8. Terlambatnya kasus diketahui dan spesimen tidak adekuat.
 






Sejak surveilans AFP dilaksanakan secara intensif tahun 1997 melalui peningkatan komitmen Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi di seluruh Indonesia, penemuan kasus AFP menunjukkan peningkatan yang bermakna, namun berfluktuasi dimana penemuan terendah pada tahun 2000. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terjadi transisi sistem pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi, terutama adanya perubahan struktur organisasi disetiap tingkat pemerintahan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 2002 Ditjem PPM dan PLP menetapkan adanya Petugas Surveilans Khusus AFP ditingkat Provinsi sebagai koordinator teknis pelaksanaan surveilans AFP yang bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Dengan adanya sistem ini terjadi peningkatan penemuan kasus AFP diatas batas  minimal Non Polio Rate 1/100.000 anak usia kurang dari 15 tahun. Penemuan kasus tersebut belum maksimal,karena masih ditemukannya adanya kasus AFP yang lolos dari beberapa RS.
Dalam tahun 2005 terjadi KLB polio yang berdampak pada meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap semua kelumpuhan yang terjadi, sehingga penemuan kasus AFP Non Polio meningkat 2/100.000 meskipun spesimen adekuat kurang 80%. Penemuan kasus ini menunjukkan perkiraan minimal kasus AFP Non Polio di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut sejak tahun 2006 ditetapkan non polio AFP Rate 2/100.000 anak usia kurang 15 tahun.



Dari gambar diatas, dinyatakan bahwa sumber penemuan kasus AFP 16 tahun terakhir (1997-2012) pada propinsi Jawa Tengah telah dilakukan sistem surveilans masyarakat (CBS) yang diamati pada anak-anak berusia < 15 tahun dan sistem surveilans aktif rumah sakit (HBS) yang bertujuan untuk menemukan kasus AFP yang berobat ke rumah sakit, dilakukan pada semua bagian rumah sakit yang merawat anak berusia < 15 tahun.
Dimana terlihat jelas bahwa pada grafik menunjukkan tingkat kerja petugas yang berbeda-beda setiap tahunnya. Sistem surveilans masyarakat sangat menonjol dan mencapai tingkat maksimal pada tahun 2004, sedangkan untuk sistem surveilans aktif rumah sakit menonjol dan mencapai tingkat maksimal pada tahun 2007. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh banyaknya kasus AFP anak < 15 tahun yang pada tahun 2004 tidak dibawa ke rumah sakit, sehingga CBS yang banyak terlibat dalam pengumpulan data. Sedangkan pada tahun 2007 anak dengan AFP banyak ditemukan di rumah sakit, jadi HBS lah yang terlibat dalam pengumpulan data.
Contoh form surveilans polio (AFP)

 
         Tabel diatas adalah contoh form untuk surveilans epidemiologi polio. Pertama isi terlebih dahulu propinsi mana yang disurvei, lalu isi bulan, minggu, dan tahun kapan kapan data hasil survei akan dilaporkan. Kemudian pada kolom pertama yaitu kode kabupaten, diisi dengan kode kabupaten yang sudah ditentukan yang termasuk dalam wilayah propinsi yang disurvei. Kedua, kolom kabupaten/kota diisi dengan nama kabupaten/kota tersebut. Kolom ketiga yaitu jumlah unit pelapor, terdiri dari puskesmas dan rumah sakit. Kolom ini diisi dengan jumlah banyaknya puskesmas/RS yang melaporkan kasus polio dikabupaten atau kota tersebut. Yang keempat merupakan kolom laporan yang seharusnya, diisi dengan jumlah kasus yang ditemukan dilapangan baik berdasarkan data mingguan maupun data bulanan. Lalu, kolom kelima yaitu kolom jumlah laporan yang diterima, kolom ini diisi dengan jumlah kasus yang dilaporkan oleh puskesmas/RS berdasarkan data mingguan dan bulanan. Pada kolom keenam, jumlah laporan tepat waktu diisi dengan jumlah temuan kasus yang dilaporkan tepat waktu. Selanjutnya kolom kelengkapan, diisi dengan persentase jumlah kelengkapan data yang didapatkan. Dan kolom terakhir yaitu kolom ketepatan, diisi dengan persentase ketepatan dari data temuan kasus polio yang dilaporkan.
 


Dari grafik yang disajikan berdasarkan data distribusi kasus AFP di Kabupaten Musi Rawas yang ditinjau dari tahun 2002 sampai dengan Mei 2011 . Grafik diatas menggambarkan bahwa kasus AFP terbanyak di Kabupaten Musi Rawas adalah di daerah Muara Kelingi dan di daerah STLU Terawas yaitu sebanyak tujuh kasus yang mungkin baru tercatat . Sedangkan di daerah lain rata-rata hanya tercatat satu atau dua kasus AFP di setiap daerah . Data ini bisa saja akan lebih banyak kasus AFP yang sebenarnya, namun hanya beberapa saja yang tercatat di rumah sakit, puskesmas ataupun dinas kesehatan setempat. Mengenai keakuratan data dengan kasus yang sebenarnya tergantung pada kemampuan petugas kesehatan daerah setempat yang mampu mensurvei kasus AFP di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan kebanyakan kasus AFP ini tidak dilaporkan ke petugas kesehatan,sehingga kasus tersebut tidak tercatat di rumah sakit ataupun sejenisnya.

Dari peta di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah di Jember telah melaksanakan surveilans AFP secara baik. Surveilans AFP tersebut menunjukkan bahwa terdapat 1 kasus AFP polio liar yang menyimpulkan bahwa pada tahun 2005-2009 masih terdapat kasus polio di Jember.

Dari tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tahun 2005-2006 surveilans AFP di Kabupaten Jember tidak memenuhi indikator surveilans AFP. Tetapi menunjukkan peningkatan pada tahun selanjutnya yaitu > 2/100000 penduduk.

Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa temuan kasus AFP terbanyak pada tahun 2007 diikuti pada tahun 2008,2009,2005,2006.

KESIMPULAN:
    Berdasarkan data Asia Tenggara WHO yang mencakup 10 negara atau SEARO (South East Asia Organization) Indonesia bersama 8 negara lainnya telah bebas polio sedangkan India belum bebas Polio. Syarat suatu negara bebas Polio yaitu tidak ditemukan kasus Polio selama 3 Tahun berturut-turut. Namun WHO tetap menghimbau setiap negara untuk memberikan imunisasi Polio wajib 4 kali yaitu (P-) saat bayi baru lahir, (P-1) saat usia 3 bulan, (P-2) saat usia 4 bulan, dan (P-3) saat usia 5 bulan. Dengan imunisasi tersebut dapat memberikan proteksi terhadap polio selama 5-10 tahun.




DAFTAR PUSTAKA 
Gendrowahyuhono, G. ‎2010. Laporan hasil-hasil pemeriksaan virus polio dari laboratorium Badan
           Litbangkes: Jakarta (ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/download)
PT.Bio Farma Bandung dan BBLK Surabaya, dari tahun 2004 s/d 2008.
WHO, 2005. Framework for national policy makers in OPV-using countries. Geneva.p.l- 10.
WHO. Polio Lab Network, quarterly Update, April 2007, Volume XIII, Issue 1.
WHO. Global Polio Eradication Initiative: strategic plan 2004-2008.
Rina dan Ritarwan.2009.Upaya Eradikasi Polio Di Indonesia.Universitas Sumatera utara
Gendrowahyuhona dkk.2010.Eradikasi Polio dan IPV. Media Litbang Kesehatan Volume XX Nomor 4
           tahun 2010       
Prasetyowati dkk. 2011.AFP Berdasarkan Indikator Kinerja Surveilens di Kabupaten Jember pada tahun
           2005-2009.FKM Unsil 
Lenni.2004. Beberapa faktor yang berhubungan dengan upaya penemuan kasusacute flaccid paralysis  (afp) oleh petugas kesehatan di kabupaten batang hari provinsi jambi. Universitas Diponegoro 
Antara News. 2012.Kasus Polio dunia turun ketingkat terendah. Available at: http://berita.plasa.msn.com/internasional/antara/kasus-polio-dunia-turun-ke-tingkat-terendah diakses pada 3 Oktober 2013
Depkes. 2006. Peta Kesehatan Indonesia tahun 2004. Pusat Data dan Informasi Depkes RI
LSPL (Lembaga Studi Pemantauan Lingkungan). 2006. Penderita Polio di Indonesia terbesar ke 3 di   Dunia.    Available at: http://www.oocities.org/lsplweb/berita0306.html diakses pada 3 oktober 201
Oke Rina R. dan Kiking Ritarwan. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RSUP H. Adam Malik
            Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK-USU/RSUP H. Adam Malik

VIDEO




4 komentar:

  1. Kepada teman-teman yg ingin bertanya kami persilahkan :D

    BalasHapus
  2. Nama : Gita Yuni Andrila
    Nim : 10111001038

    teman teman kelompok polio saya ingin menanyakan kepada kelompok anda mengenai vaksin polio Terdapat dua jenis vaksin polio: Vaksin Polio Oral (OPV) yang diberikan melalui mulut dan Vaksin Polio Inaktivasi (IPV) yang diberikan melalui suntikan.
    pertanyaanya seperti yang kita ketahui vaksin polio yang kebanyakan digunakan di indonesia adalah vaksin oral,menurut kelompok anda mengapa vaksin polio inaktivasi di indonesia belum terlalu populer menjadi salah satu pencegahan polio dengan menggunakan vaksin?dan manakah yang lebih efektif diantara OPV dan IPV jika dilihat dari cara kerja obat itu sendiri?
    trimaksih teman teman

    BalasHapus
  3. Perbedaan vaksin polio oral dan vaksin polio suntik
    a. Vaksin polio oral diberikan dengan cara diteteskan ke mulut. Walaupun sangat efektif tapi rentan menimbulkan polio dan dapat menyebabkan paralisis. Vaksin ini mengandung virus polio yang dilemahkan. Harganya lebih murah dan efektif untuk virus polio liar, sebab vaksin ini memberikan perlindungan kepada saluran cerna.
    b. Vaksin polio suntik yaitu vaksin polio tidak aktif yang diberikan secara suntikan. Vaksin ini mengandung virus polio yang sudah dimatikan jadi tidak menyebabkan paralisis. Tidak melindungi dari virus polio liar, harganya lebih mahal dan cara pemberiannya hanya bisa diberikan orang tertentu saja

    BalasHapus
  4. hello guys..
    saya OLGA DWIYANI (10111001042)
    sebelumnya saya mau ngasih tau kalau hasil kerja blog kalian ini bagus beeudh.
    nah, cuma saya pengen nanya aja.. Coba kalian lihat
    - kelebihan surveilens polio poin 3 "Dapat mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah, sehingga dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi virus polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas"

    lalu liat kekurangannya di poin 7 "Sulitnya pendistribusian vaksin polio ke daerah-daerah terpencil"

    saya bingung, jadi sebenarnya apakah surveilan polio ini sdh mencakup daerah terpencil atau belum?
    thanks a lot ^^

    BalasHapus